Cerpen: Revolusi Pergi dengan Keyakinan dan Pedih, Cinta di Dadanya Terluka
pakrw.com - Revolusi pernah bilang padaku, sebelum ia pergi bersembunyi karena luka yang ia derita seusai perang, aku tau dia bukanlah laki-laki atau perempuan yang biasa, dia melebihi batas-batas yang ada.
Revolusi sangat mencintaiku, ia tidak pernah memukul dan berkata kasar padaku. Bila ia wujud maka ia adalah sosok yang sangat sederhana, akan tetapi karena dia adalah jiwa maka ia menjadi sangat luar biasa.
Ia berkata dalam gelap, bibirnya yang indah bergetar seperti hendak menghantam jiwaku, matanya meneteskan air mata darah, sebuah keyakinan yang hampir punah, terabaikan dan terasingkan.
"Kerumitan liku labirin rasa adalah kedalaman nuansa yang tidak memerlukan dasar lembah, ketidak pastian adalah kepastian itu sendiri. Betapa paradoks bukanlah akhir. Hilir mudik para pencari 'pasti', mencari jalan melingkar menuju pangkalnya sendiri. Dengan mencari pamungkas jalan kemenangan, mereka mengabaikan nikmatnya rasa petualangan. Pamungkas ilmu sang jawara adalah tanda selangkahnya menuju kekalahan, tidakkah klimaks petualangan adalah puncak kerahasiaan? Paradoks itu kini menjelma menjadi klimaks yang tiada habisnya." Ucapnya.
Entah kenapa aku merasa tak sanggup untuk berkata-kata padanya, aku terdiam tanpa satupun kata yang bisa kujawabkan.
"Cinta adalah misteri, dan mereka telah mengakhiri perjalanan. Karena kedangkalan pikiran dan mental, mereka urungkan niat di ambang pintu, mereka mengundurkan diri di hadapan tantangan misteri, hanya pecundang yang bersedia kalah sebelum pertempuran, mereka tidak tahu bahwa kemisteriusan cinta adalah kelapangan. Dengan kerdil mereka takut menghadapi kelapangan dunia cinta. Masih dibutuhkan ukuran terkecil dari satuan terkecil yang telah ada untuk sekedar mendeskripsikan mental sempit, untuk bertutur cinta saja mereka malu, dan mendengar kata cinta saja mereka tergenyit hati getir, mestinya mereka malu dengan kemaluannya itu, pun kenaifan yang serupa bagi hati para pengabai, akal para perendah, emosi para pengancam, dan tingkah para perusak urusan cinta".
Sejenak revolusi berhenti bicara, dihisapnya dalam-dalam sebatang rokok bermerk LA-One, sepintas mulutnya yang mengepulkan asap terlihat seperti terowongan terbakar.
"Itulah mereka dunianya terlalu kecil untuk mengetahui semuanya. Terlalu kecil wadah untuk merengkuh keindahan dan keajaiban. Kepicikan yang tidak layak untuk ikut serta dan terlibat dalam urusan yang sangat mulia. Sayang…..sungguh sayang bagi mereka. Betapa pada pangkalnya kita pernah sejalan, mereka menjauh dari keutamaannya, mencuram turun dari kemanusiaannya, menikung dari arah yang seharusnya mereka tuju, mereka tidak akan berhasil dari dan mencari substansinya. Kematian adalah ujung jalan bagi mereka yang berusaha menanggalkan semua kediriannya, hanya kehinaan bagi mereka yang keluar dari kemanusiaannya".
Aku masih diam dan menundukkan muka dalam-dalam.
"Itulah mereka bukan kita sayang"
Kali ini ia berkata sambil membelai rambutku.
"Mereka bukan kita karena kita menolak untuk jadi mereka, kita adalah kata ganti orang pertama–jamak, maka kita akan selalu utama, selalu eksis dalam pelopor, kita adalah barisan yang konsis, tidak akan pernah tanggal identitas kita pada cinta. Cinta adalah pandu didikasi kita".
Ia berhenti membelai rambutku, lalu berdiri dan menengadahkan mukanya menatap langit yang selalu merah di matanya.
"Mereka anggap keberanian ketika kita tulus dalam cinta. Cinta adalah dunia kita, dan tiada canggung kita sebagai bagiannya. Bagi kita berurusan dengan cinta adalah kebajikan, kemisteriusan adalah keniscayaan hidup, dan cinta adalah kemisteriusan itu, karana kemisteriusan hidup bermuara pada cinta. Tiada akhir dan awal di sini, dan semuanya akan mengalir dinamis tanpa dapat dihentikan, itulah teman kebahagiaan kita. Hati kita yang lapang tak hendak menghendaki petualangan usai, apa yang bagi mereka jalan tak berujung, adalah jejak-jejak karya kita, jiwa cinta kita terlalu besar untuk pikiran mereka, kita tak bermula dan juga tak berakhir karena kitalah hidup itu, karena kita adalah jiwa-jiwa yang terlibat, itulah mengapa kita berada dalalm lingkup cinta, maka bagi mereka kita seperti memberi tiada habisnya, mereka tidak akan mengerti bahwa kita hanya sekedar berjalan, menari, hidup, dan eksis, tidak masalah meskipun tanpa pengakuan, sebab kita tidak memiliki suatu yang mereka anggap masalah. Kita meluas dan akan mengalir terus di keluasan itu, sampai satu ketika kita tidak butuh pengakuan, karena ia terlalu sederhana bagi kita. Urusan kita bukan urusan diakui atau tidak, melainkan jauh lebih ke puncak substansi, karena urusan kita adalah urusan Cinta, Sayang dan rasa Memiliki".
Revolusi masih berdiri lemah, darah mulai merembes dari lambungnya yang dibalut perban.
“Kamu tahu dari mana luka ini berasal?"
Aku menggeleng.
"Luka ini berasal dari pelor kawan sendiri yang nyasar dari belakang, mungkin ia tidak sengaja, atau mungkin pula ia memang sengaja ingin membunuhku".
Ia mendesah pelan dan meneruskan kembali kata-katanya.
"Mereka tidak akan sanggup membendung pintu yang akan kita masuki. Dalam eksistensi cinta, kita akan menjakadi aktor dalam cerita para novelis, kitalah subjek-subjek legenda, kita akan selalu diceritakan dalam dongeng anak-anak mereka, tiada sesaat tatkala kita muncul meskipun hanya dalam cerita pendek, kitalah imajinasi di balik puisi, kita pembawa makna esai-esai, kitalah spirit dawai nada mereka, kitalah petani yang selalu menyuburkan benih-benih imajinasai para sastrawan. Saat cinta adalah penghidupan kita, maka kita akan menjadi sebab-sebab keindahan dan kebahagiaan banyak hal. Wahai mereka. Marilah kita. Tiada usai bagi cinta, karena cinta maka kita tidak dapat diabaikan, kelapangan kitalah yang menjadikan anugrah ini terkecap oleh orang-orang di sekitar kita. Kita telah berevolusi nada, dari Merdeka…atau Mati…kini menjadi TJINJA ATAU TJINTA, kita tidak perlu memilih karena memilih akan selalu menyakitkan, tapi kita telah mengerti satu hal bahwa Tinja bukan Cinta. Lalu kita akan sampai pada cinta yang meng-universal".
Kemudian Revolusi melangkah pelan tinggalkan aku sendiri, ia pergi menuju tempat persembunyiannya dan akan kembali dengan mata yang lebih merah.
"Re. Aku tunggu kau di babak selanjutnya, dalam perang yang lebih dahsyat, yang mungkin adalah kemenangan kita" teriakku dari kejauhan.
Begitulah tak ada satupun malam itu yang tersisa, Revolusi pergi dengan keyakinan dan pedih, cinta di dadanya terluka, dan darah merembes dari lambungnya.